Bom kembali meledak, tepatnya terjadi hari Jumat lalu 15 April 2011 sekitar jam 12.20 wib di masjid adz Dzikro Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Kota Cirebon. Ledakan bom itu menyebabkan korban luka 30 orang dan satu orang meninggal yang sudah dipastikan oleh kepolisian adalah pelakunya yaitu M Syarif Astanagarif. Ledakan terjadi di tengah-tengah ibadah shalat Jumat, ketika shalat Jumat baru dimulai yaitu saat imam mengucapkan takbiratul ikram rakaat pertama.
Tak pelak, peristiwa bom Cirebon itu banyak menghiasi pemberitaan media massa cetak maupun elektronik. Berita itu untuk sejenak bisa mengalahkan atau setidaknya mengecilkan isu-isu lain yang fundamental dan tidak kalah penting berkaitan dengan persoalan kehidupan bernegara seperti isu pembangunan gedung DPR, korupsi, mafia kasus, Century Gate, pasar bebas khususnya CAFTA yang menggulung industri dalam negeri, penyanderaan kapal MV Sinar Kudus dengan 20 awaknya oleh perompak di perairan Somalia, rencana kenaikan harga BBM, dan rencana legislasi RUU Intelijen yang sarat dengan spirit “kekuasaan tiran”, dan sebagainya.
Terkait bom Cirebon ini masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Tetapi yang jelas umat Islam menunggu kerja kepolisian yang transparan, obyektif dan profesional mengunkap kasus tersebut. Tentua saja umat juga berharap banyak agar aparat tidak mudah terjebak kepada stigmatisasi dan spirit “global warr on terrorism” ala Amerika dan sekutunya.

Menduga Motif
Sampai sekarang pihak kepolisian belum bisa mengungkap apa motiv sebenarnya dari bom itu. Hanya saja dilihat dari segi kemungkinan, ada beberapa kemungkinan.
Tindakan bom “bunuh diri” bisa dilatarbelakangi oleh beragam motiv. Adakalanya motivnya berupa keyakinan dan pemahaman seseorang terhadap realitas kehidupan yang harus disikapi. Tindakan “kamikaze” orang Jepang adalah contohnya. Aktivitas “istisyhad” yang dilakukan mujahid di medan perang (medan jihad) juga didorong oleh keyakinannya. Bisa juga aksi “bunuh diri” dilakukan sebagai “balas dendam” karena sakit hati akibat kezaliman dan akumulasi kekecewaan yang dialami pelakunya. Apalagi kondisi kehidupan yang kapitalistik-materialistik banyak melahirkan tekanan hidup yang bisa melahirkan sosok-sosok yang rentan, labil dan dihinggapi rasa frustasi. Juga tidak bisa dinafikan adanya kemungkinan pelakunya melakukan aktifitas diluar kendali dan kontrol dirinya karena berbagai faktor atau “dikontrol” oleh pihak-pihak tertentu, termasuk intelijen hitam.
Semua motiv itu baik secara sendiri atau gabungan mungkin berada di balik bom Cirebon. Hanya saja rasa frustasi karena merasa sudah buntu diduga menjadi salah satu faktor kuat. Seperti diberitakan Vivanews.com, 18/4, Abdul Ghofur, ayah pelaku sendiri juga menduga hal itu. Soal mengapa Syarif mengincar polisi, menurut Abdul, anaknya sudah buntu. "Dia itu sudah dicari-cari sama aparat jadi buntu, dia ikut kerusuhan merusak Alfamart, Indomaret menjelang lebaran operasi miras…”. Dia menambahkan, "Lagian dia juga membunuh aparat TNI, kalau ketangkap ya dia mati juga karena membunuh aparat. Jadi buntu."
Dengan sosok pribadi yang “labil”, temperamental dan nekat, ditambah persoalan pribadi yang komplek, mengisyaratkan berbagai kemungkinan motiv: bisa frustasi, balas dendam, karena sakit hati, termasuk kemungkinan dia adalah orang yang dikorbankan dalam keadaan “tersandera” pada misi pemboman itu. Yang paling tahu tentu M Syarif sendiri dan Allah SWT. Sayangnya motiv itu pergi bersama bekunya jasad M Syarif.

Aksi Bom Cirebon Menyalahi Ajaran Islam
Dalam kajian fiqh jihad, tidak ada perbedaan pendapat kecuali sedikit orang yang menyelisihi, bahwa tindakan meledakkan diri di Masjid, di tengah-tengah kaum muslim yang menunaikan kewajiban salat Jumat adalah haram dalam Islam. Syariat Islam melarang dengan tegas seorang muslim melakukan tindakan yang bisa melukai saudara muslim lainya, apalagi membunuhnya tanpa ada alasan yang dibenarkan secara syar’i (QS al-Isra’ [17]: 33).
Bahkan Islam mengharamkan seorang muslim menteror muslim lainnya baik secara psikis maupun fisik. Rasulullah saw bersabda:
«Ù„ا ÙŠَØ­ِÙ„ُّ Ù„ِÙ…ُسْÙ„ِÙ…ٍ Ø£َÙ†ْ ÙŠُرَÙˆِّعَ Ù…ُسْÙ„ِماً»
“Seorang Muslim tidak halal meneror Muslim yang lain.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Jika meneror saja diharamkan, maka tindakan yang lebih besar dari itu seperti menyiksanya atau membunuhnya tentu lebih diharamkan lagi.
Karena itu aksi bom Cirebon itu sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam pandangan Islam. Apalagi aksi bom Cirebon itu secara zahir diarahkan kepada orang-orang yang zahirnya menunjukkan diri sebagai seorang muslim yang hendak menunaikan kewajiban salat Jumat. Maka tidak logis jika tindakan ini dikatakan sebagai “jihad”. Maka sungguh peristiwa bom Cirebon itu tidak bisa dikaitkan dengan Islam dan perjuangan Islam, karena realitas tindakan bom Cirebon itu justru bertentangan dengan tuntunan Syariat Islam itu sendiri.

Waspadai Propaganda
Umat Islam sudah hafal, setiap ada peristiwa bom akhirnya muncul opini menjadikan Islam dan sebagian umat Islam sebagai kambing hitam dan tertuduh. Kali ini pun demikian. Ada beberapa opini yang terlihat sengaja dibangun:
Pertama, sejak awal langsung muncul opini mengaitkannya dengan kelompok-kelompok tertentu. Padahal tidak menutup kemungkinan si pelaku belajar membuat bom secara mandiri, karena di internet banyak informasi perihal itu. Dengan bahan-bahan yang mudah didapat dan unsur bahan hanya berupa adukan sederhana yang biasa digunakan dalam pembuatan mercon, tidak perlu waktu lama untuk mempelajarinya karena termasuk pelajaran dasar dalam perakitan bom.
Kedua, opini bahwa ideologi dan visi politik yang melatarbelakangi aksi bom Cirebon adalah Islam dan perjuangan penegakkan syariat Islam dalam bingkai negara. Para aktivis perjuangan penegakan syariah pun secara implisit turut dijadikan kambing hitam. Setidaknya dengan tuduhan menjadi “inspirator” dan penyubur “radikalisme”. Pihak BNPT dan para pengamat yang segaris melalui melalui media terlihat intens membangun opini tersebut.
Padahal dalam kasus bom Cirebon ini sulit sekali menemukan relevansi antara aksi tersebut dengan visi politik penegakan syariah. Karena nyata sekali tindakan bom bunuh diri di masjid dengan target orang muslim justru bertentangan dengan syariat Islam yang ingin ditegakkan. Apalagi motiv dan aksi pelakunya sendiri masih kabur dan belum terungkap dengan jelas berdasarkan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Karenanya, opini itu bisa dinilai sebagai kesimpulan prematur dan gegabah. Tuduhan, asumsi dan opini yang dikembangkan itu agaknya lebih merupakan propaganda yang memang sudah disusun dan kasus bom ini dijadikan sebagai tunggangan baru untuk mengopinikannya kapada masyarakat. Semua itu lebih merupakan propaganda busuk untuk menjegal kebangkitan Islam Ideologi yang hadir menawarkan solusi terhadap problem komplek kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini yang tidak kunjung ada titik terang solusinya dibawah sistem kapitalis yang sedang eksis saat ini.
Ketiga, peristiwa bom Cirebon dijadikan pemicu lebih kuat bagi segera lahirnya aturan hukum yang lebih “menggigit”. Yaitu digunakan dalam waktu dekat untuk meloloskan RUU Intelijen dan berikutnya mendesakkan revisi terhadap UU No.15 tahun 2003 tentang Penggulangan Terorisme. Alasan klise pun dimunculkan, bahwa aksi-aksi seperti itu tidak bisa dicegah sebab intelijen lemah. Karenanya perlu ada payung hukum yang melegitimasi tindakan aparat intelijen untuk melakukan tindakan tidak hanya dilevel analisa dan rekomendasi tapi juga tindakan pre-emptif (dengan menangkap dan mengeliminasi sesuatu yang diangap ancaman). Lagi-lagi pemerintah terjebak dalam arus global “warr on terrorism” dan tindakan ala Amerika.
Padahal hal itu sangat mungkin melahirkan regulasi dan pemerintahan represif yang telah menyebabkan trauma bencana bagi masyarakat. Tentu itu sebuah kemunduran bagi umat. Disamping itu, pilihan dan tindakan seperti itu selama ini justru memunculkan “teror oleh negara” dan mengakibatkan aksi kekerasan dan radikalisme terus berulang sebagai pembalasan karena diperlakukan semena-mena oleh negara. Negara akhirnya justru terlibat dalam lahirnya siklus kekerasan dan terror. Tidak akan pernah ada jaminan bahwa langkah-langkah yang lebih represif yang akan dilegalkan melalui proses politik ala demokrasi itu menjadi solusi efektif dalam isu terorisme.
Karena itu, mengkaitkan peristiwa itu dengan kepentingan untuk segera melakukan pengesahan RUU Intelijen harus ditolak. Sebab, keperluan untuk hadirnya badan intelijen yang baik tidak boleh dijadikan dasar untuk lahirnya sebuah UU yang justru akan menimbulkan kemudharatan bagi rakyat, khususnya umat Islam, sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru.

Wahai Kaum Muslim
Jelas bahwa aksi bom Cirebon tidak bisa dibenarkan dalam pandangan Islam. Juga sangat jelas bahwa aksi itu tidak bisa dikaitkan dengan perjuangan penegakan syariah Islam. Karena itu, Kaum muslim harus waspada terhadap propaganda menyerang islam dengan menjadikan kasus bom tersebut sebagai tunggangan. Orang-orang yang benci kepada Islam dan kaum muslim senantiasa membuat makar, tapi yakinlah bahwa Allah SWT adalah sebaik-baik pembuat makar.
 ÙˆَÙ…َÙƒَرُوا ÙˆَÙ…َÙƒَرَ اللَّÙ‡ُ ÙˆَاللَّÙ‡ُ Ø®َÙŠْرُ الْÙ…َاكِرِينَ 
Mereka membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali ‘Imran [3]: 54)

Hendaknya seluruh umat Islam tetap teguh, sabar dan istiqamah dalam perjuangan menegakkan syariah dan khilafah. Tidak gentar terhadap setiap tantangan, hambatan dan ancaman hingga cita-cita mulia itu benar-benar tegak. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []


Komentar al-Islam

Kunjungan anggota DPR ke Swiss ditolak (detik.com, 19/4)
1. Sebelumnya menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dalam siaran persnya, Sabtu (16/4/2011), kunjungan kerja ke luar negeri oleh Komisi I, Komisi VIII, Komisi X dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR selama masa reses tak kurang menghabiskan anggaran sebesar Rp12 miliar.
2. Banyak bukti dan indikasi, kunjungan kerja hanya alibi untuk menghamburkan uang rakyat dengan alasan demi kepentingan rakyat.
3. Inilah wajah demokrasi menjadi sarang penyamun dan penggasak hak-hak rakyat.